Siaran Publik: Empat Puluh Lima Tahun Kematian Bung Hatta dan Nasib Indonesia

Pada 10 Februari 1975, Mohammad Hatta, Proklamator dan Wakil Presiden Indonesia berwasiat, “Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikannya Indonesia Merdeka. Saya tidak ingin dikuburkan di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikubur di tempat kuburan rakyat biasa yang nasib-nya saya perjuangkan seumur hidup saya,” Bung Hatta kemudian meninggal pada 14 Maret 1980 setelah dirawat beberapa hari di RS Cipto Mangunkusumo. Bung Hatta kemudian dimakamkan di Jakarta, tepatnya di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, dimana rakyat biasa juga dimakamkan disana. Testamen Hatta tersebut adalah pernyataan sikap. Bahkan kematiannya sekalipun, ingin ia jadikan sebagai medium perbaikan nasib rakyat kecil. Sikap yang kini perlu kita semua renungkan sebagai anak bangsa.

Bertahun-tahun sebelum kematiannya, Hatta kerap menyinggung “nasib”. Pada umur 17 Tahun, Hatta menulis cerita pendek dengan judul “Nasib Hindania” yang dimuat dalam Majalah Jong Sumatra, No. 1, Tahun Ke-3, Januari 1920. Cerpen tersebut merupakan personifikasi nasib Indonesia yang ketika itu berada dalam masa kolonialisme. Hatta membuat personifikasi Hindania sebagai seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, seorang Brahmana dari Hindustan. Hindania kemudian menikah lagi dengan seorang musafir bernama Wollandia dari negeri Magrib. Mula-mula, Hindania mengira Wollandia seorang baik budi. Namun pasca pernikahan, Wollandia ternyata hanya mencintai harta Hindania saja dan menindas anak-anak Hindania. Diceritakan harta Hindania habis dikirimkan Wollandia ke negerinya sendiri dan kesengsaraan meliputi hari-hari Hindania setelahnya. Cerpen “Nasib Hindania” ini merupakan karya tulis pertama Bung Hatta yang dimuat di Majalah. Garis start yang ia mulai dengan mempertanyakan nasib bangsanya.

 “Celakalah bangsa, yang massanya, yang rakyatnya yang terbanyak dihinggapi oleh rasa menyerah kepada nasib, yang filsafat hidupnya dikuasai oleh perasaaan “apa boleh buat”. Begitulah penggalan kalimat yang diucapkan Moh. Hatta dalam pidatonya pada Kongres Perumahan Rakyat Kedua di Jakarta, 4 Agustus 1952. Hatta mengkritik kondisi perumahan rakyat yang kala itu mengenaskan. Ada banyak rumah yang keadaannya hanya dapat untuk tempat beristirahat di malam hari dan berteduh ketika hujan saja, dengan jendela yang minim atau tidak ada sama sekali sehingga membuat penyakit tumbuh dan berkembang dengan mudah. Bung Hatta juga menyinggung kasus TBC yang tinggi ditengah-tengah masyarakat karena kualitas hunian yang tidak baik.

Seolah nasib tidak berubah, pasca 79 tahun kemerdekaannya, perbaikan kondisi bangsa Indonesia masih jauh dari kata cukup. Perumahan rakyat dan kesehatan masih menjadi persoalan utama akibat politik ekonomi murah. Masyarakat luas masih hidup dengan kerja-kerja dan usaha-usaha informal. Masyarakat  dibuat hidup dengan ekonomi murah. Tidak ada perbaikan sepanjang sandang, pangan, papannya ada, meskipun dengan kualitas yang buruk. Rasio rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau oleh BPS secara nasional ada pada 63,15 persen di tahun 2023. Disisi lain, pada 2023, Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menyebut bahwa ada 57,91 persen anak usia dini yang tinggal di rumah tidak layak huni.

Akibat dari perumahan yang tidak layak tersebut, masalah kesehatan menjadi persoalan yang sering ditemui di tengah masyarakat. Hunian yang padat dan ventilasi yang buruk memicu penyebaran TBC menjadi sangat jamak di Indonesia. Tidak mengherankan, data Global Tuberculosis Report menyebut, Kasus TBC Indonesia berada pada peringkat ke-2 (dua) di dunia, dengan mencatatkan lebih dari satu juta kasus TBC sepanjang 2024.  Kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari sistem ekonomi Indonesia yang semakin hari semakin tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Baru-baru ini, ekonomi dibuat compang-camping sana-sini. Pengusahaan hajat masyarakat banyak dan distribusi pengelolaan sumber daya alam dikelola dengan serampangan dan sesuka hati penguasa tanpa terlihat sedikitpun keinginan untuk memperbaiki keadaan ekonomi anak bangsa. PHK terjadi disemua lini, turunnya daya beli masyarakat, defisit APBN hingga berujung pemangkasan anggaran hingga banyak pekerja yang selama ini mengabdikan diri untuk negara dirumahkan akibat pengambilan kebijakan yang tidak berpihak pada nasib rakyat. Semua kekacauan ini berawal dari ketidakcakapan pemangku kebijakan, penyusunan dan perubahan peraturan perundang-undangan yang ugal-ugalan dan penuh konflik kepentingan, serta pemeliharaan ketidakadilan struktural di tubuh Bangsa Indonesia. Kondisi negara yang tragis. Sampai kapan nasib Bangsa Indonesia akan sedemikian rupa?

Bertepatan dengan 45 Tahun Haul Mohammad Hatta, Proklamator dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, kami, Yayasan Hatta mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk secepatnya:

  1. Menjalankan pemerintahan Indonesia sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Melakukan perbaikan kondisi sosial dan ekonomi rakyat Indonesia; dan
  3. Menghentikan praktik-praktik yang melanggengkan konflik kepentingan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, khususnya dalam bidang Ekonomi, Politik, Hukum dan HAM.

 

 

Jakarta, 14 Maret 2025


Yayasan Hatta